|
SIAPAKAH DIRI KITA?
(MA’RIFATUL INSAN)
|
|
Kita,
manusia, adalah makhluq Allah yang unik dan istimewa. Kita tercipta dari dua
unsur yang sungguh berbeda satu sama lain: tanah yang berasal dari bumi dan
ruh yang berasal dari langit. Terciptanya kita dari tanah menjadikan kita
sebagai makhluq yang membutuhkan hal-hal yang bersifat ‘bumi’ seperti makan,
minum, dan kebutuhan biologis. Sedangkan unsur ruh yang ada dalam diri kita
menjadikan kita sebagai makhluq yang membutuhkan hal-hal yang bersifat
‘langit’ seperti iman, ilmu, dan semacamnya.
Allah
telah mengilhamkan dalam diri kita dua potensi: potensi baik (at-taqwa) dan
potensi buruk (al-fujur). Kemudian Allah memberikan kepada kita kebebasan
untuk memilih: beriman atau kufur, menjadi baik atau menjadi buruk. Setelah
memilih, kita tentu saja harus menanggung segala konsekuensinya. Dan
konsekuensi tersebut tidak lain adalah balasan baik berupa surga dan balasan
buruk berupa neraka. Apapun yang akan kita dapatkan, baik surga ataupun
neraka, merupakan hasil dari pilihan kita sendiri. Karena itu jika ada
seorang manusia yang nantinya masuk kedalam neraka, itu tidak lain adalah
karena kezhalimannya kepada dirinya sendiri. Allah sedikit pun tidak berbuat
zhalim kepada hamba-hamba-Nya.
Allah
telah memberitahukan kepada kita melalui wahyu-Nya bahwa kita diciptakan
untuk beribadah dan menyembah kepada-Nya semata, tanpa menyekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Seluruh kehidupan kita harus bernilai ibadah. Kita tidak
hanya beribadah kepada Allah ketika kita sedang melakukan sholat dan berbagai
ritual yang lainnya. Kita harus beribadah kepada Allah dalam semua sisi
kehidupan. Caranya adalah dengan senantiasa menjadikan gerak hidup kita
diridhai oleh Allah, yakni dengan mematuhi syariat-Nya yang telah Ia jelaskan
dalam wahyu-Nya yang suci dan mulia.
Manusia
telah menerima tawaran amanah dari Allah untuk memakmurkan alam semesta.
Untuk itu, Allah telah menganugerahkan berbagai macam potensi kepada manusia
untuk bisa memikul amanah yang amat berat tersebut. Allah telah menciptakan manusia
dalam sebaik-baik bentuk (fii ahsani taqwiim). Manusia tidak hanya
dianugerahi jasad yang menawan, namun juga dianugerahi hati dan akal pikiran
untuk bisa mencerap ilmu pengetahuan dan membedakan antara yang baik dan yang
buruk. Disamping itu, Allah juga telah menundukkan alam semesta untuk
manusia. Karenanya, kita bisa memanfaatkan segala hal yang ada di alam ini,
baik itu benda mati, tumbuh-tumbuhan, binatang dan sebagainya.
Sebenarnya
kita adalah makhluk yang lemah. Fisik kita tidaklah sekuat singa atau gajah.
Namun dengan akal yang Allah berikan, kita bisa mencari cara untuk melindungi
diri dari binatang-binatang buas semacam itu. Bahkan, kita pun bisa
membinasakan hewan-hewan tersebut jika kita mau. Kita tidak diciptakan untuk
bisa hidup dalam air. Namun dengan akal yang Allah berikan, kita bisa
menciptakan kapal laut dan kapal selam untuk mengarungi perairan yang luas
dan dalam. Kita tidak dikaruniai sayap untuk bisa terbang sebagaimana burung.
Namun dengan akal yang Allah berikan, kita bisa menciptakan berbagai macam
peralatan yang memungkinkan kita untuk terbang di angkasa, bahkan ke luar
angkasa. Allah benar-benar telah memberikan anugerah yang besar kepada kita,
manusia. Subhanallah, maha suci Allah!
Oleh
karena itu, kita wajib mensyukuri segala yang telah Allah anugerahkan kepada
diri kita, berupa jasad, hati dan akal kita. Salah satu caranya adalah dengan
senantiasa menjaga ketiga hal tersebut, secara seimbang. Jasad kita harus
kita rawat dengan cara memberikan kebutuhan-kebutuhannya seperti makanan,
minuman, kebutuhan biologis dan olahraga. Hati kita juga harus senantiasa
kita jaga dengan cara membersihkannya dari penyakit-penyakit hati lalu
menghiasinya dengan sifat-sifat yang terpuji. Demikian pula akal kita juga
harus kita pelihara dengan cara mengasah kecerdasannya dan menghiasinya
dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Demikianlah Allah memerintahkan kepada kita
untuk menjaga ketiga elemen diri kita tersebut secara seimbang, tanpa
menelantarkan salah satu atau sebagiannya.
Yang
seringkali dilakukan oleh manusia adalah hanya memperhatikan jasadnya, dan
teledor dalam memperhatikan jiwanya. Padahal jiwa itulah yang membuat manusia
menjadi unik dan istimewa. Dan jiwa itulah yang dilihat oleh Allah, bukan
jasad. Banyak manusia tidak merasa ketika jiwanya telah sedemikian kotor. Ini
tentu saja amat menyedihkan. Kita harus tahu bahwa jiwa kita sesungguhnya
telah menyimpan berbagai sifat dasar yang kurang terpuji. Jika kita tidak
berusaha untuk mengendalikan dan mengekang sifat-sifat tersebut, niscaya sifat-sifat
itu akan terus tumbuh dan berkembang mengotori jiwa kita. Diantara
sifat-sifat dasar itu adalah tergesa-gesa, suka berkeluh-kesah, suka lalai,
suka melampauai batas, pelit, suka ingkar, suka membantah, zhalim, dan jahil.
Tugas kita adalah mengubah sifat-sifat itu menjadi sifat-sifat yang terpuji.
Hal ini tentu saja membutuhkan kesungguh-sungguhan (mujahadah).
Seberapa
jauh kita bermujahadah dalam mengekang jiwa kita, akan menentukan kualitas
jiwa kita. Jiwa yang tidak mengekang syahwatnya akan senantiasa terobsesi
untuk melakukan berbagai macam keburukan (an-nafs al-ammarah bis-suu’). Dan
jika jiwa tersebut terus mengumbar syahwatnya maka ia akan menjadi budak
syahwat. Kualitas jiwa yang lebih tinggi dari ini adalah jiwa yang labil dan
senantiasa bergejolak, antara kebaikan dan keburukan. Apabila ada keinginan
amal shalih ia berpikir-pikir dulu. Pun bila terbersit kecenderungan maksiat
ia juga pikir-pikir dulu. Lalu ketika ia terjatuh dalam sebuah kemaksiatan,
ia pun akan menyesal dan mencaci maki dirinya atas kesalahannya tersebut. Dan
untuk itulah ia disebut sebagai an-nafs al-lawwamah. Adapun kualitas jiwa
yang tertinggi adalah ketika ia benar-benar tenang dalam kebaikan dan taqwa.
Ia tidak tergoda oleh berbagai rayuan kemaksiatan. Inilah jiwa yang tenang
dan tenteram (an-nafs al-muthmainnah).
Dengan
ketinggian kualitas jiwanya, manusia akan mendapatkan kedudukan yang tinggi
disisi Allah. Pada level tertentu, ia bahkan dikatakan lebih tinggi
kedudukannya daripada malaikat, karena taatnya malaikat bersifat taken for
granted (tanpa pilihan) sementara taatnya manusia bersifat mukhayyar (atas
pilihannya sendiri). Namun ketika seorang manusia memiliki kualitas jiwa yang
rendah, hanya diperbudak oleh syahwatnya semata, ia pun tidak lagi berbeda
dengan binatang, bahkan lebih rendah. Yang demikian itu karena ia hidup tanpa
aturan seperti binatang padahal ia dikaruniai hati dan akal pikiran. Adapun
hewan memang pantas hidup liar dan tanpa aturan karena memang tidak
dikaruniai hati dan akal pikiran.
Pada akhirnya,
diri kita sendirilah yang akan menentukan kita akan menjadi apa dan siapa,
karena kita adalah makhluq yang mukhayyar, bebas untuk menentukan pilihan.
Tetapi ingat, setiap pilihan pasti ada konsekuensinya!
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar